Tradisi Jawa : Akankah bertahan?
Praktek-praktek tradisi dari budaya Jawa sudah mulai hilang. Walaupun tidak bisa dikatakan semua, namun eksesnya sudah bisa dirasakan. Ambil contoh sewaktu sekolah dasar, saya biasa menaruh sajen di pojok desa atau kampung
dan gapura menuju kampong atau tempat tempat yang dianggap punya
kekuatan menentramkan. Waktu itu saya hanya tahu bahwa ditempat tersebut
ada hantu atau hal gaib yang
pantas di berikan sajen. Sampai hari ini saya belum pernah menanyakan
mengapa hal itu ada dan mengapa pula sekarang sudah tidak dilakukan
seperti dulu. Di kampung saya seputaran jalan Magelang tepatnya Kricak
Kidul, tradisi menaruh sajen dikarenakan ada hajatan atau pernikahan
lazim dilakukan. Tradisi itu sudah mulai berkurang sekitar tahun
1990-an. Kemudian tradisi lain
yang sudah hilang adalah bersih desa. Waktu itu selalu diadakan 5 tahun
sekali. Semua warga terlibat untuk melakukan bersih desa/kampung.
Kemudian
tradisi kendurian, kalaupun belum hilang namun sudah berganti wajah.
Tampilan isi maupun kemasan luar sudah sedikit modern. Dulu apabila
orang tua saya tidak bisa hadir, maka saya menggantikannya ikut bersama
para kaum laki-laki menghadiri kendurian. Dengan doa-doa Islam kendurian
dimulai, yang kemudian diakhiri dengan membanggikan bingkisan.
Bingkisan tersebut berupa ayaman bambu dan isinya terdiri dari berbagai
macam makanan khas kampung. Saat
ini kemasan dan isinya pun sudah berbeda. Makanannya sudah sedikit
modern dan bervariasi. Tempatnya sudah menggunakan kardus warna putih.
Kemudian tradisi yang masih bertahan adalah ruwahan. Membuat apem kemudian dibagikan kepada warga. Kita
tidak bisa memungkiri bahwa arus perubahan yang kemudian memengaruhi
tradisi sedang merangsek masuk ke sendi-sendi kehidupan. Perilaku yang
khas sebagai orang Jawa pun mungkin sudah tidak terlalu nampak. Terutama
generasi yang lahir tahun 90-an. Pendidikan yang khas sebagai keluarga
Jawa sudah terkena imbas dari budaya luweh-luweh atau cuek. Hal yang
menarik perhatian saya adalah rasa guyup dan rukun sesama warga kampung
masih terjaga. Berbeda jauh apabila tinggal di kota besar seperti
Jakarta. Budaya luweh bisa menjadi panglima.
Sementara
di Jakarta terjadi penolakan Lurah yang non Muslim, justru di kampung
saya yang mayoritas Muslim menjadikan seorang pendeta sebagai ketua RT.
Bahkan pada acara malam tirakatan menjelang kemerdekaan, beliau
menyampaikan pesan moral dan nasionalisme bagi warga yang mayoritas
Islam. Bapak saya saja, sejak dari saya kecil sampai kuliah jadi bendahara
RT. Mau pensiun tidak boleh. Padahal bapak saya Kristen. Tradisi saling
menghargai dan menghormati inilah yang masih bertahan di kampung saya. Di
kampung saya hal tersebut sangat lumrah. Dan biasa saja. Bagi saya hal
ini merupakan kerukunan yang sebenarnya sudah terbangun berabad lampau.
Nah mengakhiri tulisan yang singkat ini, saya hendak menyampaikan bahwa
kearifan local yang masih berkembang di masyarakat Jawa adalah sebuah
entitas kekuatan bagi terciptanya kehidupan. Dan menjadi tonggak
kemanusiaan Jawa. Selamat Ulang Tahun Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar