Ayo Sinau Basa Jawa

Minggu, 08 Desember 2013

Tradisi Jawa : Akankah bertahan?

Tradisi Jawa : Akankah bertahan?
Praktek-praktek tradisi dari budaya Jawa sudah mulai hilang. Walaupun tidak bisa dikatakan semua, namun eksesnya sudah bisa dirasakan. Ambil contoh sewaktu sekolah dasar, saya biasa menaruh sajen di pojok desa atau kampung dan gapura menuju kampong atau tempat tempat yang dianggap punya kekuatan menentramkan. Waktu itu saya hanya tahu bahwa ditempat tersebut ada hantu atau hal gaib yang pantas di berikan sajen. Sampai hari ini saya belum pernah menanyakan mengapa hal itu ada dan mengapa pula sekarang sudah tidak dilakukan seperti dulu. Di kampung saya seputaran jalan Magelang tepatnya Kricak Kidul, tradisi menaruh sajen dikarenakan ada hajatan atau pernikahan lazim dilakukan. Tradisi itu sudah mulai berkurang sekitar tahun 1990-an. Kemudian tradisi lain yang sudah hilang adalah bersih desa. Waktu itu selalu diadakan 5 tahun sekali. Semua warga terlibat untuk melakukan bersih desa/kampung.
Kemudian tradisi kendurian, kalaupun belum hilang namun sudah berganti wajah. Tampilan isi maupun kemasan luar sudah sedikit modern. Dulu apabila orang tua saya tidak bisa hadir, maka saya menggantikannya ikut bersama para kaum laki-laki menghadiri kendurian. Dengan doa-doa Islam kendurian dimulai, yang kemudian diakhiri dengan membanggikan bingkisan. Bingkisan tersebut berupa ayaman bambu dan isinya terdiri dari berbagai macam makanan khas kampung. Saat ini kemasan dan isinya pun sudah berbeda. Makanannya sudah sedikit modern dan bervariasi. Tempatnya sudah menggunakan kardus warna putih. Kemudian tradisi yang masih bertahan adalah ruwahan. Membuat apem kemudian dibagikan kepada warga. Kita tidak bisa memungkiri bahwa arus perubahan yang kemudian memengaruhi tradisi sedang merangsek masuk ke sendi-sendi kehidupan. Perilaku yang khas sebagai orang Jawa pun mungkin sudah tidak terlalu nampak. Terutama generasi yang lahir tahun 90-an. Pendidikan yang khas sebagai keluarga Jawa sudah terkena imbas dari budaya luweh-luweh atau cuek. Hal yang menarik perhatian saya adalah rasa guyup dan rukun sesama warga kampung masih terjaga. Berbeda jauh apabila tinggal di kota besar seperti Jakarta. Budaya luweh bisa menjadi panglima.
Sementara di Jakarta terjadi penolakan Lurah yang non Muslim, justru di kampung saya yang mayoritas Muslim menjadikan seorang pendeta sebagai ketua RT. Bahkan pada acara malam tirakatan menjelang kemerdekaan, beliau menyampaikan pesan moral dan nasionalisme bagi warga yang mayoritas Islam. Bapak saya saja, sejak dari saya kecil sampai kuliah jadi bendahara RT. Mau pensiun tidak boleh. Padahal bapak saya Kristen. Tradisi saling menghargai dan menghormati inilah yang masih bertahan di kampung saya. Di kampung saya hal tersebut sangat lumrah. Dan biasa saja. Bagi saya hal ini merupakan kerukunan yang sebenarnya sudah terbangun berabad lampau. Nah mengakhiri tulisan yang singkat ini, saya hendak menyampaikan bahwa kearifan local yang masih berkembang di masyarakat Jawa adalah sebuah entitas kekuatan bagi terciptanya kehidupan. Dan menjadi tonggak kemanusiaan Jawa. Selamat Ulang Tahun Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar